Sabtu, 10 Juli 2010

Askep Anak Kejang Demam

Kejang Demam

Pengertian

Kejang demam atau febrile convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium (Ngastiyah, 1997:229).

Kejang adalah pembebasan listrik yang tidak terkontrol dari sel syaraf cortex serebral yang ditandai dengan serangan yang tiba – tiba (marillyn, doengoes. 1999 : 252)


Etiologi

Penyebab dari kejag demam dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu :
  1. Obat – obatan
    racun, alkhohol, obat yang diminum berlebihan
  2. Ketidak seimbangan kimiawi
    hiperkalemia, hipoglikemia dan asidosis
  3. Demam
    paling sering terjadi pada anak balita
  4. Patologis otak
    akibat dari cidera kepala, trauma, infeksi, peningkatan tik
  5. Eklampsia
    hipertensi prenatal, toksemia gravidarum
  6. Idiopatik
    penyebab tidak diketahui

Tanda dan Gejala

Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu :
  1. Kejang demam sementara
    • Umur antara 6 bulan – 4 tahun
    • Lama kejang lebih dari 15 menit
    • Kejang bersifat umum
    • Kejang terjadi dalam waktu 16 jam setelah timbulnya demam
    • Tidak ada kelainan neurologis, baik klinis maupun laboratorium
    • Eeg normal 1 minggu setelah bangkitan kejang
  2. Kejang demam komplikata
    • Diluar kriteria tersebut diatas

Komplikasi
  1. Kejang berulang
  2. Epilepsi
  3. Hemiparese
  4. Gangguan mental dan belajar

Pemeriksaan Diagnostik
  1. Darah
    Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <>BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
    Elektrolit : K, Na
    Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
    Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
    Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
  2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
  3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
  4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
  5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
  6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

Penatalaksanaan Medik
  1. Pemberian diazepam
    • dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/ kg bb/ dosis iv (perlahan)
    • bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosisi ulangan setelah 20 menit.
  2. Turunkan demam
    • anti piretik : para setamol atau salisilat 10 mg/ kg bb/ dosis
    • kompres air biasa
  3. Penanganan suportif
    • bebaskan jalan nafas
    • beri zat asam


Asuhan Keperawatan Pasien Anak Dengan Kejang Demam


Pengkajian

Pengumpulan data pada kasus kejang demam ini meliputi :
  1. Data subyektif
    • Biodata/Identitas
      Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
      Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat.
    • Riwayat Penyakit
      1. Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan : Apakah betul ada kejang ?
        Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak
      2. Apakah disertai demam ?
        Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang. Jarak antara timbulnya kejang dengan demam.
      3. Lama serangan
        Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
      4. Pola serangan
        • Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik ?
        • Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik ?
        • Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik ?
        • Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile ?
          Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
      5. Frekuensi serangan
        Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
      6. Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
        Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya ?
      7. Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
        Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
      8. Riwayat penyakit dahulu
        • Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali ?
        • Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain.
      9. Riwayat kehamilan dan persalinan
        Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.
      10. Riwayat imunisasi
        Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
      11. Riwayat perkembangan
        Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
        • Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial) : berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
        • Gerakan motorik halus : berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain.
        • Gerakan motorik kasar : berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh.
        • Bahasa : kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan.
      12. Riwayat kesehatan keluarga.
        • Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+ 25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan)
        • Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya?
        • Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam.
      13. Riwayat sosial
        • Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yanh mengasuh anak?
        • Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya ?
      14. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
        • Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana ?
        • Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
          • Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
          • Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis ?
          • Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita, pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan pertolongan pertama.
      15. Pola nutrisi
        • Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak ?
        • Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak ? Bagaimana selera makan anak ? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari ?
      16. Pola eliminasi
        • BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah ? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
        • BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak ? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir ?
      17. Pola aktivitas dan latihan
        • Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya?
        • Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
        • Aktivitas apa yang disukai?
      18. Pola tidur/istirahat
        • Berapa jam sehari tidur?
        • Berangkat tidur jam berapa?
        • Bangun tidur jam berapa?
        • Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang ?
  2. Data Obyektif
    • Pemeriksaan Umum
      Pertama kali perhatikan keadaan umum vital : tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi.
    • Pemeriksaan Fisik
      1. Kepala
        Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum ?
      2. Rambut
        Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
      3. Muka/ wajah
        Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
      4. Mata
        Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
      5. Telinga
        Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
      6. Hidung
        Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya ?
      7. Mulut
        Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi?
      8. Tenggorokan
        Adakah tanda-tanda peradangan tonsil ? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat ?
      9. Leher
        Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid ? Adakah pembesaran vena jugulans ?
      10. Thorax
        Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
      11. Jantung
        Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya ? Adakah bunyi tambahan ? Adakah bradicardi atau tachycardia ?
      12. Abdomen
        Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen ? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus ? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar ?
      13. Kulit
        Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma ? Bagaimana keadaan turgor kulit ?
      14. Ekstremitas
        Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral ?
      15. Genetalia
        Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi ?


Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot/kejang
  2. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi


Intervensi

Diagnosa Keperawatan I :
Risiko trauma fisik berhubungan dengan kurangnya koordinasi otot/kejang

Tujuan : Risk detection.

Kriteria Hasil :
  • Tidak terjadi trauma fisik selama perawatan.
  • Mempertahankan tindakan yang mengontrol aktivitas kejang.
  • Mengidentifikasi tindakan yang harus diberikan ketika terjadi kejang.
  • Pengetahuan tentang risiko
  • Memonitor faktor risiko dari lingkungan

Rencana Tindakan : NIC : Pencegahan jatuh
  • Beri pengaman pada sisi tempat tidur dan penggunaan tempat tidur yang rendah.
    Rasional : meminimalkan injuri saat kejang
  • Tinggalah bersama klien selama fase kejang..
    Rasional : meningkatkan keamanan klien.
  • Berikan tongue spatel diantara gigi atas dan bawah.
    Rasional : menurunkan resiko trauma pada mulut.
  • Letakkan klien di tempat yang lembut.
    Rasional : membantu menurunkan resiko injuri fisik pada ekstimitas ketika kontrol otot volunter berkurang.
  • Catat tipe kejang (lokasi,lama) dan frekuensi kejang.
    Rasional : membantu menurunkan lokasi area cerebral yang terganggu.
  • Catat tanda-tanda vital sesudah fase kejang
    Rasional : mendeteksi secara dini keadaan yang abnormal.


Diagnosa Keperawatan II :
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi

Tujuan : Thermoregulation

Kriteria Hasil :
  • Suhu tubuh dalam rentang normal
  • Nadi dan RR dalam rentang normal
  • Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing

Rencana Tindakan : NIC : Fever treatment
  • Kaji faktor – faktor terjadinya hiperthermi.
    Rasional : Mengetahui penyebab terjadinya hiperthermi karena penambahan pakaian/selimut dapat menghambat penurunan suhu tubuh.
  • Observasi tanda – tanda vital tiap 4 jam sekali
    Rasional : Pemantauan tanda vital yang teratur dapat menentukan perkembangan keperawatan yang selanjutnya.
  • Pertahankan suhu tubuh normal
    Rasional : Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat aktivitas, suhu lingkungan, kelembaban tinggiakan mempengaruhi panas atau dinginnya tubuh.
  • Ajarkan pada keluarga memberikan kompres dingin pada kepala / ketiak .
    Rasional : Proses konduksi/perpindahan panas dengan suatu bahan perantara.
  • Anjurkan untuk menggunakan baju tipis dan terbuat dari kain katun
    Rasional : proses hilangnya panas akan terhalangi oleh pakaian tebal dan tidak dapat menyerap keringat.
  • Atur sirkulasi udara ruangan.
    Rasional : Penyediaan udara bersih.
  • Beri ekstra cairan dengan menganjurkan pasien banyak minum
    Rasional : Kebutuhan cairan meningkat karena penguapan tubuh meningkat.
  • Batasi aktivitas fisik

semoga bermanfaat.....!!!!!!
kumpulan askep klik disini

askep Otitis Media Akut (OMA)




Otitis Media Akut (OMA)

Pengertian

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah (Kapita selekta kedokteran, 1999).

Yang paling sering terlihat ialah :
  1. Otitis media viral akut
  2. Otitis media bakterial akut
  3. Otitis media nekrotik akut


Etiologi

Penyebabnya adalah bakteri piogenik seperti streptococcus haemolyticus, staphylococcus aureus, pneumococcus , haemophylus influenza, escherecia coli, streptococcus anhaemolyticus, proteus vulgaris, pseudomonas aerugenosa.


Patofisiologi

Umumnya otitis media dari nasofaring yang kemudian mengenai telinga tengah, kecuali pada kasus yang relatif jarang, yang mendapatkan infeksi bakteri yang membocorkan membran timpani. Stadium awal komplikasi ini dimulai dengan hiperemi dan edema pada mukosa tuba eusthacius bagian faring, yang kemudian lumennya dipersempit oleh hiperplasi limfoid pada submukosa.

Gangguan ventilasi telinga tengah ini disertai oleh terkumpulnya cairan eksudat dan transudat dalam telinga tengah, akibatnya telinga tengah menjadi sangat rentan terhadap infeksi bakteri yang datang langsung dari nasofaring. Selanjutnya faktor ketahanan tubuh pejamu dan virulensi bakteri akan menentukan progresivitas penyakit.


Pemeriksaan Penunjang
  1. Otoskop pneumatik untuk melihat membran timpani yang penuh, bengkak dan tidak tembus cahaya dengan kerusakan mogilitas.
  2. Kultur cairan melalui mambran timpani yang pecah untuk mengetahui organisme penyebab.


Asuhan Keperawatan Pasien Otitis Media Akut (OMA)


Pengkajian

Data yang muncul saat pengkajian :
  • Sakit telinga/nyeri
  • Penurunan/tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga
  • Tinitus
  • Perasaan penuh pada telinga
  • Suara bergema dari suara sendiri
  • Bunyi “letupan” sewaktu menguap atau menelan
  • Vertigo, pusing, gatal pada telinga
  • Penggunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga
  • Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin)
  • Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40o C), demam
  • Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat
  • Reflek kejut
  • Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras
  • Tipe warna 2 jumlah cairan
  • Cairan telinga; hitam, kemerahan, jernih, kuning
  • Alergi
  • Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram
  • Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan atas, infeksi telinga sebelumnya, alergi


Diagnosa Keperawatan yang Muncul
  1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
  2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
  3. Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori


Intervensi
  1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga

    Tujuan :
    Nyeri berkurang atau hilang

    Intervensi :

    • Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
    • Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
    • Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
    • Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
  2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan

    Tujuan :
    Tidak terjadi tanda-tanda infeksi

    Intervensi :

    • Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi perluasan lebih lanjut.
    • Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan mikroorganisme.
    • Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
    • Kolaborasi pemberian antibiotik.
  3. Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori

    Tujuan :
    Tidak terjadi injury atau perlukaan

    Intervensi :

    • Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak agar tidak jatuh
    • Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
    • Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
    • Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka.
     
semoga bermanfaat....!!!!!!!!!!!!
kumpulan askep klik disini

askep Infeksi Saluran Kemih (ISK)


INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)


A. Pengertian
Infeksi Saluran Kemih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih. (Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)


B. Klasifikasi

Klasifikasi infeksi saluran kemih sebagai berikut :
  1. Kandung kemih (sistitis)
  2. Uretra (uretritis)
  3. Prostat (prostatitis)
  4. Ginjal (pielonefritis)

Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
  1. ISK uncomplicated (simple)
    ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik, anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial kandung kemih.
  2. ISK complicated
    Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
    • Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap dan prostatitis.
    • Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
    • Gangguan daya tahan tubuh
    • Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang memproduksi urease.

C. Etiologi
  1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
    • Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
    • Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
    • Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
  2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
    • Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang kurang efektif
    • Mobilitas menurun
    • Nutrisi yang sering kurang baik
    • Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
    • Adanya hambatan pada aliran urin
    • Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat

D. Patofisiologi

Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen.
Ada dua jalur utama terjadinya ISK yaitu asending dan hematogen.
  • Secara asending yaitu:
    • Masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi, kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
    • Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal.
  • Secara hematogen yaitu:
    Sering terjadi pada pasien yang system imunnya rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat jaringan parut, dan lain-lain.

Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
  • Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
  • Mobilitas menurun
  • Nutrisi yang sering kurang baik
  • System imunnitas yng menurun
  • Adanya hambatan pada saluran urin
  • Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan pada laki-laki diatas usia 60 tahun.


E. Tanda dan Gejala
  1. Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah adalah :
    • Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
    • Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
    • Hematuria
    • Nyeri punggung dapat terjadi
  2. Tanda dan gejala ISK bagian atas adalah :
    • Demam
    • Menggigil
    • Nyeri panggul dan pinggang
    • Nyeri ketika berkemih
    • Malaise
    • Pusing
    • Mual dan muntah

F. Pemeriksaan Penunjang
  1. Urinalisis
    • Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK. Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sediment air kemih
    • Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
  2. Bakteriologis
    • Mikroskopis
    • Biakan bakteri
  3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
  4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai criteria utama adanya infeksi.
  5. Metode tes
    • Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
    • Tes Penyakit Menular Seksual (PMS) :
      Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
    • Tes- tes tambahan :
      Urogram intravena (IVU), Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses, hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic, sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.


G. Penatalaksanaan

Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
  • Terapi antibiotika dosis tunggal
  • Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
  • Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
  • Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi, factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin), trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
  • Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
  • Interansi obat
  • Efek samping obat
  • Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
  • Efek nefrotosik obat
  • Efek toksisitas obat



Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Infeksi Saluran Kemih (ISK)

A. Pengkajian
  1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe
  2. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
    • Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
    • Adakah riwayat obstruksi pada saluran kemih?
  3. Adanya faktor predisposisi pasien terhadap infeksi nosokomial
    • Bagaimana dengan pemasangan folley kateter ?
    • Imobilisasi dalam waktu yang lama ?
    • Apakah terjadi inkontinensia urine?
  4. Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
    • Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)
    • Adakah disuria?
    • Adakah urgensi?
    • Adakah hesitancy?
    • Adakah bau urine yang menyengat?
    • Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
    • Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah ?
    • Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas ?
    • Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.
  5. Pengkajian psikologi pasien:
    • Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang telah dilakukan?
    • Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap penyakitnya.

B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
  1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
  2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
  3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.

C. Intervensi
  1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra, kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
    Kriteria Hasil :
    • Nyeri berkurang / hilang saat dan sesudah berkemih
    Intervensi:
    • Pantau perubahan warna urin, pantau pola berkemih, masukan dan keluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
      Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
    • Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) nyeri.
      Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
    • Berikan tindakan nyaman, seperti pijatan.
      Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
    • Berikan perawatan perineal
      Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
    • Jika dipaang kateter, perawatan kateter 2 kali per hari.
      Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan.
    • Alihkan perhatian pada hal yang menyenangkan
      Rasional : relaksasi, menghindari terlalu merasakan nyeri.
  2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
    Kriteria Hasil :
    Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi, oliguri, disuria)
    Intervensi:
    • Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
      Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
    • Dorong meningkatkan pemasukan cairan
      Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
    • Kaji keluhan pada kandung kemih
      Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan (kandung kemih/ginjal)
    • Observasi perubahan tingkat kesadaran
      Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat menjadi toksik pada susunan saraf pusat
    • Kolaborasi:
      • Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
        Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
      • Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
        Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.
  3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
    KriteriaHasil : menyatakan mengerti tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
    Intervensi:
    • Berikan waktu kepada pasien untuk menanyakan apa yang tidak di ketahui tentang penyakitnya.
      Rasional : Mengetahui sejauh mana ketidak tahuan pasien tentang penyakitnya.
    • Kaji ulang proses penyakit dan harapan yang akan datang
      Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pilihan beradasarkan informasi.
    • Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah penyebaran, jelaskan pemberian antibiotik, pemeriksaan diagnostik: tujuan, gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan sesudah pemeriksaan.
      Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan membantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
    • Anjurkan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, minum sebanyak kurang lebih delapan gelas per hari.
      Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit mereda. Cairan menolong membilas ginjal.
    • Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan masalah tentang rencana pengobatan.
      Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.


semoga bermanfaat......!!!!!!
kimpulan askep klik disini

askep Benigna Prostat Hipertrop



Benigna Prostat Hipertropi (BPH)

A. Pengertian
Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193).

B. Etiologi
Penyebab terjadinya Benigna Prostat Hipertropi belum diketahui secara pasti. Tetapi hanya 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya Benigne Prostat Hypertropi yaitu testis dan usia lanjut.

Ada beberapa teori mengemukakan mengapa kelenjar periurethral dapat mengalami hiperplasia, yaitu :

Teori Sel Stem (Isaacs 1984)
Berdasarkan teori ini jaringan prostat pada orang dewasa berada pada keseimbangan antara pertumbuhan sel dan sel mati, keadaan ini disebut steady state. Pada jaringan prostat terdapat sel stem yang dapat berproliferasi lebih cepat, sehingga terjadi hiperplasia kelenjar periurethral.

Teori MC Neal (1978)
Menurut MC. Neal, pembesaran prostat jinak dimulai dari zona transisi yang letaknya sebelah proksimal dari spincter eksterna pada kedua sisi veromontatum di zona periurethral.

C. Anatomi Fisiologi
Kelenjar proatat adalah suatu jaringan fibromuskular dan kelenjar grandular yang melingkari urethra bagian proksimal yang terdiri dari kelnjar majemuk, saluran-saluran dan otot polos terletak di bawah kandung kemih dan melekat pada dinding kandung kemih dengan ukuran panjang : 3-4 cm dan lebar : 4,4 cm, tebal : 2,6 cm dan sebesar biji kenari, pembesaran pada prostat akan membendung uretra dan dapat menyebabkan retensi urine, kelenjar prostat terdiri dari lobus posterior lateral, anterior dan lobus medial, kelenjar prostat berguna untuk melindungi spermatozoa terhadap tekanan yang ada uretra dan vagina. Serta menambah cairan alkalis pada cairan seminalis.

D. Patofisiologi
Menurut Mansjoer Arif tahun 2000 pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih kuat.

Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang tampai (trabekulasi). Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi, mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar disebut diverkel. Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas.

E. Tanda dan Gejala
  • Hilangnya kekuatan pancaran saat miksi (bak tidak lampias)
  • Kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih.
  • Rasa nyeri saat memulai miksi/
  • Adanya urine yang bercampur darah (hematuri).

F. Komplikasi
  • Aterosclerosis
  • Infark jantung
  • Impoten
  • Haemoragik post operasi
  • Fistula
  • Striktur pasca operasi & inconentia urine

G. Pemeriksaan Diagnosis
  1. Laboratorium

    Meliputi ureum (BUN), kreatinin, elekrolit, tes sensitivitas dan biakan urin.
  2. Radiologis
    Intravena pylografi, BNO, sistogram, retrograd, USG, Ct Scanning, cystoscopy, foto polos abdomen. Indikasi sistogram retrogras dilakukan apabila fungsi ginjal buruk, ultrasonografi dapat dilakukan secara trans abdominal atau trans rectal (TRUS = Trans Rectal Ultra Sonografi), selain untuk mengetahui pembesaran prostat ultra sonografi dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukut sisa urine dan keadaan patologi lain seperti difertikel, tumor dan batu (Syamsuhidayat dan Wim De Jong, 1997).
  3. Prostatektomi Retro Pubis
    Pembuatan insisi pada abdomen bawah, tetapi kandung kemih tidak dibuka, hanya ditarik dan jaringan adematous prostat diangkat melalui insisi pada anterior kapsula prostat.
  4. Prostatektomi Parineal

    Yaitu pembedahan dengan kelenjar prostat dibuang melalui perineum.

H. Penatalaksanaan
  1. Non Operatif
    • Pembesaran hormon estrogen & progesteron
    • Massase prostat, anjurkan sering masturbasi
    • Anjurkan tidak minum banyak pada waktu yang pendek
    • Cegah minum obat antikolinergik, antihistamin & dengostan
    • Pemasangan kateter.
  2. Operatif
    Indikasi : terjadi pelebaran kandung kemih dan urine sisa 750 ml
    • TUR (Trans Uretral Resection)
    • STP (Suprobic Transersal Prostatectomy)
    • Retropubic Extravesical Prostatectomy)
    • Prostatectomy Perineal


Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)


A. Pengkajian
  1. Data subyektif :
    • Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
    • Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
    • Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
    • Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
  2. Data Obyektif :
    • Terdapat luka insisi
    • Takikardi
    • Gelisah
    • Tekanan darah meningkat
    • Ekspresi w ajah ketakutan
    • Terpasang kateter

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
  1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
  2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
  3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

C. Intervensi
  1. Diagnosa Keperawatan 1. :
    Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

    Tujuan :
    Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat kenyamanan secara adekuat.

    Kriteria hasil :
    • Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
    • Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

    Intervensi :
    • Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
    • Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang nyeri.
    • Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi)
    • Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
    • Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
    • Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
    • Lakukan perawatan aseptik terapeutik
    • Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

  2. Diagnosa Keperawatan 2. :
    Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

    Tujuan :
    Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

    Kriteria hasil :
    • Klien akan melakukan perubahan perilaku.
    • Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
    • Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan.

    Intervensi :
    • Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.
    • Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
    • Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
    • Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
    • Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

  3. Diagnosa Keperawatan 3. :
    Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

    Tujuan :
    Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

    Kriteria hasil :
    • Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
    • Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
    • Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

    Intervensi :
    • Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
    • Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan.
    • Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
    • Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri (analgesik).
     

semoga bermanfaat.....!!!!!!
kumpulan askep klik disini

askep Dengue haemorhagic fever (DHF)




DENGUE HAEMORAGIC FEVER (DHF)


A. Pengertian

Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (Christantie Efendy,1995 ).
Dengue haemorhagic fever (DHF) adalah penyakit yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam. DHF sejenis virus yang tergolong arbo virus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina) (Seoparman, 1990).
DHF adalah demam khusus yang dibawa oleh aedes aegypty dan beberapa nyamuk lain yang menyebabkan terjadinya demam. Biasanya dengan cepat menyebar secara efidemik. (Sir, Patrick manson, 2001).


B. Etiologi

  1. Virus dengue sejenis arbovirus.
  2. Virus dengue tergolong dalam family Flavividae dan dikenal ada 4 serotif, Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke II, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk batang, bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 70 oC.
    Keempat serotif tersebut telah di temukan pula di Indonesia dengan serotif ke 3 merupakan serotif yang paling banyak.

C. Patofisiologi


Virus akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypty dan kemudian akan bereaksi dengan antibody dan terbentuklah kompleks virus-antibody. Dalam sirkulasi akan mengaktivasi system komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan dilepas C3a dan C5a,dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamine dan merupakan mediator kuat sebagai factor
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah dan menghilangkan plasma melalui endotel dinding itu.

Terjadinya trobositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan factor penyebab terjadinya perdarahan hebat , terutama perdarahan saluran gastrointestinal pada DHF.

Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diathesis hemorrhagic, renjatan terjadi secara akut.

Nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan hilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Dan dengan hilangnya plasma klien mengalami hipovolemik. Apabila tidak diatasi bisa terjadi anoxia jaringan, acidosis metabolic dan kematian.


D. Tanda dan gejala

  1. Demam tinggi selama 5 – 7 hari.
  2. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
  3. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.
  4. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
  5. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
  6. Sakit kepala.
  7. Pembengkakan sekitar mata.
  8. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
  9. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah).

E. Pemeriksaan penunjang


  • Darah

    1. Trombosit menurun.
    2. HB meningkat lebih 20 %
    3. HT meningkat lebih 20 %
    4. Leukosit menurun pada hari ke 2 dan ke 3
    5. Protein darah rendah
    6. Ureum PH bisa meningkat
    7. NA dan CL rendah
  • Serology : HI (hemaglutination inhibition test).

    1. Rontgen thorax : Efusi pleura.
    2. Uji test tourniket (+)

F. Penatalaksanaan


  • Tirah baring
  • Pemberian makanan lunak
  • Pemberian cairan melalui infus
  • Pemberian obat-obatan : antibiotic, antipiretik
  • Anti konvulsi jika terjadi kejang
  • Monitor tanda-tanda vital (Tekanan Darah, Suhu, Nadi, RR).
  • Monitor adanya tanda-tanda renjatan
  • Monitor tanda-tanda perdarahan lebih lanjut
  • Periksa HB,HT, dan Trombosit setiap hari.

G. Tumbuh kembang pada anak usia 6-12 tahun


Pertumbuhan merupakan proses bertambahnya ukuran berbagai organ fisik berkaitan dengan masalah perubahan dalam jumlah, besar, ukuran atau dimensi tingkat sel. Pertambahan berat badan 2 – 4 Kg / tahun dan pada anak wanita sudah mulai mengembangkan cirri sex sekundernya.
Perkembangan menitikberatkan pada aspek diferensiasi bentuk dan fungsi termasuk perubahan sosial dan emosi.

  1. Motorik kasar

    • Loncat tali
    • Memukul
    • Badminton
    • Motorik kasar di bawah kendali kognitif dan berdasarkan secara bertahap meningkatkan irama dan kehalusan.
  2. Motorik halus

    • Menunjukan keseimbangan dan koordinasi mata dan tangan
    • Dapat meningkatkan kemampuan menjahit, membuat model dan bermain alat musik.
  3. Kognitif

    • Dapat berfokus pada lebih dan satu aspek dan situasi
    • Dapat mempertimbangkan sejumlah alternatif dalam pemecahan masalah
    • Dapat membelikan cara kerja dan melacak urutan kejadian kembali sejak awal
    • Dapat memahami konsep dahulu, sekarang dan yang akan datang.
  4. Bahasa

    • Mengerti kebanyakan kata-kata abstrak
    • Memakai semua bagian pembicaraan termasuk kata sifat, kata keterangan, kata penghubung dan kata depan
    • Menggunakan bahasa sebagai alat pertukaran verbal
    • Dapat memakai kalimat majemuk dan gabungan.
     



ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DHF
  1. Pengkajian
    Pengkajian merupakan tahap awal yang dilakukan perawat untuk mendapatkan data yang dibutuhkan sebelum melakukan asuhan keperawatan . pengkajian pada pasien dengan “DHF” dapat dilakukan dengan teknik wawancara, pengukuran, dan pemeriksaan fisik. Adapun tahapan-tahapannya meliputi :

    • Mengidentifikasi sumber-sumber yang potensial dan tersedia untuk memenuhi kebutuhan pasien.
    • Kaji riwayat keperawatan.
    • Kaji adanya peningkatan suhu tubuh ,tanda-tanda perdarahan, mual, muntah, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati, nyeri otot dan sendi, tanda-tanda syok (denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran).
  2. Diagnosa keperawatan yang Muncul
    1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
    2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual, muntah, tidak ada nafsu makan.
  3. Intervensi
    Diagnosa 1. :
    Gangguan volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan , muntah dan demam.
    Tujuan : Gangguan volume cairan tubuh dapat teratasi
    Kriteria hasil :
    • Volume cairan tubuh kembali normal
    Intervensi :

    • Kaji KU dan kondisi pasien
    • Observasi tanda-tanda vital ( S,N,RR )
    • Observasi tanda-tanda dehidrasi
    • Observasi tetesan infus dan lokasi penusukan jarum infus
    • Balance cairan (input dan out put cairan)
    • Beri pasien dan anjurkan keluarga pasien untuk memberi minum banyak
    • Anjurkan keluarga pasien untuk mengganti pakaian pasien yang basah oleh
      keringat.

    Diagnosa 2. :
    Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi virus dengue.
    Tujuan : Hipertermi dapat teratasi
    Kriteria hasil :
    • Suhu tubuh kembali normal
    Intervensi :

    • Observasi tanda-tanda vital terutama suhu tubuh
    • Berikan kompres dingin (air biasa) pada daerah dahi dan ketiak
    • Ganti pakaian yang telah basah oleh keringat
    • Anjurkan keluarga untuk memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti terbuat dari katun.
    • Anjurkan keluarga untuk memberikan minum banyak kurang lebih 1500 – 2000 cc per hari
    • kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi, obat penurun panas.

    Diagnosa 3. :
    Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
    muntah, tidak ada nafsu makan.
    Tujuan : Gangguan pemenuhan nutrisi teratasi
    Kriteria hasil :

    • Intake nutrisi klien meningkat
    Intervensi :

    • Kaji intake nutrisi klien dan perubahan yang terjadi
    • Timbang berat badan klien tiap hari
    • Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi
      sering
    • Beri minum air hangat bila klien mengeluh mual
    • Lakukan pemeriksaan fisik Abdomen (auskultasi, perkusi, dan palpasi).
    • Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Therapi anti emetik.
    • Kolaborasi dengan tim gizi dalam penentuan diet.
     

semoga bermanfaat....!!!!!!!!!!
kumpulan askep klik disini

askep Strok


Strok

Pengertian

Secara umum gangguan pembuluh darah otak atau stroke merupakan gangguan sirkulasi serebral. Merupakan suatu gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologis pada pembuluh darah serebral, misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vascular dasar, misalnya aterosklerosis, arteritis, trauma, aneurisme dan kelainan perkembangan.

Stroke dapat juga diartikan sebagai gangguan fungsional otak yang bersifat :
  • fokal dan atau global
  • akut
  • berlangsung antara 24 jam atau lebih
  • disebabkan gangguan aliran darah otak
  • tidak disebabkan karena tumor/infeksi


Klasifikasi

Stroke dapat digolongkan sesuai dengan etiologi atau dasar perjalanan penyakit. Sesuai dengan perjalanan penyakit ,stroke dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :
  1. Serangan iskemik sepintas/ TIA ( Trans Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
  2. Progresif/ inevolution (stroke yang sedang berkembang) stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
  3. Stroke lengkap/completed : gangguan neurologis maksimal sejak awal serangan dengan sedikit perbaikan. Stroke dimana deficit neurologisnya pada saat onset lebih berat, bisa kemudian membaik/menetap.

Klasifikasi berdasarkan patologi :
  1. Stroke Haemorhagic
    Stroke yang terjadi karena pembuluh darah di otak pecah sehingga timbul iskhemik dan hipoksia di hilir. Penyebab stroke hemoragi antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun.
  2. Stroke non Haemorhagic
    Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder . Kesadaran umummnya baik.


Etiologi

Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke antara lain :
  1. Thrombosis Cerebral
    Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam setelah thrombosis.

    Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :
    • Atherosklerosis
      Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut :
      • Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
      • Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
      • Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan thrombus (embolus)
      • Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan.
    • Hypercoagulasi pada polysitemia
      Darah bertambah kental, peningkatan viskositas /hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.
    • Arteritis (radang pada arteri)
  2. Emboli
    Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :
    • Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.(RHD)
    • Myokard infark
    • Fibrilasi. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
    • Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endocardium.
  3. Haemorhagic
    Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan ,sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.

    Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi :
    • Aneurisma Berry,biasanya defek kongenital.
    • Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.
    • Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
    • Malformasi arteriovenous, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena.
    • Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan degenerasi pembuluh darah.
  4. Hypoksia Umum
    • Hipertensi yang parah
    • Cardiac Pulmonary Arrest
    • Cardiac output turun akibat aritmia
  5. Hipoksia setempat
    • Spasme arteri serebral , yang disertai perdarahan subarachnoid.
    • Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.


Tanda dan Gejala

Stroke menyebabkan defisit nuurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran darah kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan membaik sepenuhnya.
  1. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia)
  2. Lumpuh pada salah satu sisi wajah “Bell’s Palsy”
  3. Tonus otot lemah atau kaku
  4. Menurun atau hilangnya rasa
  5. Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”
  6. Gangguan bahasa (Disatria: kesulitan dalam membentuk kata; afhasia atau disfasia: bicara defeksif/kehilangan bicara)
  7. Gangguan persepsi
  8. Gangguan status mental


Patofisiologi
  1. Trombosis (penyakit trombo - oklusif) merupakan penyebab stroke yang paling sering. Arteriosclerosis selebral dan perlambatan sirkulasi selebral adalah penyebab utama trombosis selebral, yang adalah penyebab umum dari stroke. Tanda-tanda trombosis selebral bervariasi. Sakit kepala adalah awitan yang tidak umum. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa awitan umum lainnya. Secara umum trombosis selebral tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh dapat mendahului awitan paralysis berat pada beberapa jam atau hari.

    Trombosis terjadi biasanya ada kaitannya dengan kerusakan local dinding pembuluh darah akibat atrosklerosis. Proses aterosklerosis ditandai oleh plak berlemak pada pada lapisan intima arteria besar. Bagian intima arteria sereberi menjadi tipis dan berserabut, sedangkan sel – sel ototnya menghilang. Lamina elastika interna robek dan berjumbai, sehingga lumen pembuluh sebagian terisi oleh materi sklerotik tersebut. Plak cenderung terbentuk pada percabangan atau tempat – tempat yang melengkung. Trombi juga dikaitkan dengan tempat – tempat khusus tersebut. Pembuluh – pembuluh darah yang mempunyai resiko dalam urutan yang makin jarang adalah sebagai berikut : arteria karotis interna, vertebralis bagian atas dan basilaris bawah. Hilangnya intima akan membuat jaringan ikat terpapar. Trombosit menempel pada permukaan yang terbuka sehingga permukaan dinding pembuluh darah menjadi kasar. Trombosit akan melepasakan enzim, adenosin difosfat yang mengawali mekanisme koagulasi. Sumbat fibrinotrombosit dapat terlepas dan membentuk emboli, atau dapat tetap tinggal di tempat dan akhirnya seluruh arteria itu akan tersumbat dengan sempurna.
  2. Embolisme : embolisme sereberi termasuk urutan kedua dari berbagai penyebab utama stroke. Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis. Kebanyakan emboli sereberi berasal dari suatu trombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sebenarnya adalah perwujudan dari penyakit jantung. Meskipun lebih jarang terjadi, embolus juga mungkin berasal dari plak ateromatosa sinus karotikus atau arteria karotis interna. Setiap bagian otak dapat mengalami embolisme, tetapi embolus biasanya embolus akan menyumbat bagian – bagian yang sempit.. tempat yang paling sering terserang embolus sereberi adalah arteria sereberi media, terutama bagian atas.
  3. Perdarahan serebri : perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab utama kasus GPDO (Gangguan Pembuluh Darah Otak) dan merupakan sepersepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteri serebri. Ekstravasasi darah terjadi di daerah otak dan /atau subaraknoid, sehingga jaringan yang terletakdi dekatnya akan tergeser dan tertekan. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak, sehingga mengakibatkan vasospasme pada arteria di sekitar perdarahan. Spasme ini dapat menyebar ke seluruh hemisper otak dan sirkulus wilisi. Bekuan darah yang semula lunak menyerupai selai merah akhirnya akan larut dan mengecil. Dipandang dari sudut histologis otak yang terletak di sekitar tempat bekuan dapat membengkak dan mengalami nekrosis. Karena kerja enzim – enzim akan terjadi proses pencairan, sehingga terbentuk suatu rongga. Sesudah beberapa bulan semua jaringan nekrotik akan terganti oleh astrosit dan kapiler – kapiler baru sehingga terbentuk jalinan di sekitar rongga tadi. Akhirnya rongga terisi oleh serabut – serabut astroglia yang mengalami proliferasi. Perdarahan subaraknoid sering dikaitkan dengan pecahnya suatu aneurisme. Kebanyakan aneurisme mengenai sirkulus wilisi. Hipertensi atau gangguan perdarahan mempermudah kemungkinan ruptur. Sering terdapat lebih dari satu aneurisme.


semoga bermanfaat......!!!!!!!!!!!!!!
kumpilan askep klik disini

Askep Tetanus Neonatorum

Tetanus Neonatorum

A. PENGERTIAN
Tetanus berasal dari kata tetanos (Yunani) yang berarti peregangan.
Tetanus Neonatorum :
Penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh yang ditandai dengan kesulitan membuka mulut dan menetek, disusul dengan kejang–kejang (WHO, 1989).
Kejang yang sering di jumpai pada BBL, yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak bersih Ngastijah, 1997).

B. ETIOLOGI
Penyebab tetanus neonatorum adalah clostridium tetani yang merupakan kuman gram positif, anaerob, bentuk batang dan ramping. Kuman tersebut terdapat ditanah, saluran pencernaan manusia dan hewan. Kuman clostridium tetani membuat spora yang tahan lama dan menghasilkan 2 toksin utama yaitu tetanospasmin dan tetanolysin.

C. PATOFISIOLOGI
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sungsum belakang toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.

Efek Toxin pada :
  1. Ganglion pra sumsum tulang belakang :
    Memblok sinaps jalur antagonist, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus ototnya meningkat dan otot menjadi kaku. Terjadi penekanan pada hiperpolarisasi membran dari neurons yang merupakan mekanisme yang umum terjadi bila jalur penghambat terangsang. Depolarisasi yang berkaitan dengan jalur rangsangan tidak terganggu. Toksin menyebabkan hambatan pengeluaran inhibitory transmitter dan menekan pengaruh bahan ini pada membran neuron motorik.
  2. Otak :
    Toxin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan gejala kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus. Hambatan antidromik akibat rangsangan kortikal menurun.
  3. Saraf otonom :
    Terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hiperthermia, hypotensi, hypertensi, arytmia cardiac block atau takhikardia. Sekalipun otot yang terkena adalah otot bergaris terutama otot penampang dan penggerak tubuh yang besar-besar, pada tetanus berat otot polos juga ikut terkena, sehingga timbul manifestasi klinik seperti disebutkan diatas.

D. MANIFESTASI
Gejala klinik pada tetanus neonatorum sangat khas sehingga masyarakat yang primitifpun mampu mengenalinya sebagai “penyakit hari kedelapan” (Jaffari, Pandit dan Ismail 1966). Anak yang semula menangis, menetek dan hidup normal, mulai hari ketiga menunjukan gejala klinik yang bervariasi mulai dari kekakuan mulut dan kesulitan menetek, risus sardonicus sampai opistotonus. Trismus pada tetanus neonatorum tidak sejelas pada penderita anak atau dewasa, karena kekakuan otot leher lebih kuat dari otot masseter, sehingga rahang bawah tertarik dan mulut justru agak membuka dan kaku (Athvale, dan Pai, 1965, Marshall, 1968). Bentukan mulut menjadi mecucu (Jw) seperti mulut ikan karper. Bayi yang semula kembali lemas setelah kejang dengan cepat menjadi lebih kaku dan frekuensi kejang-kejang menjadi makin sering dengan tanda-tanda klinik kegagalan nafas (Irwantono, Ismudijanto dan MF Kaspan 1987). Kekakuan pada tetanus sangat khusus : fleksi pada tangan, ekstensi pada tungkai namun fleksi plantar pada jari kaki tidak tampak sejelas pada penderita anak.
Kekakuan dimulai pada otot-otot setempat atau trismus kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan kesadaran. Seluruh tubuh bayi menjadi kaku, bengkok (flexi) pada siku dengan tangan dikepal keras keras. Hipertoni menjadi semakin tinggi, sehingga bayi dapat diangkat bagaikan sepotong kayu. Leher yang kaku seringkali menyebabkan kepala dalam posisi menengadah.

Gambaran Umum pada Tetanus
  1. Trismus (lock-jaw, clench teeth)
    Adalah mengatupnya rahang dan terkuncinya dua baris gigi akibat kekakuan otot mengunyah (masseter) sehingga penderita sukar membuka mulut. Untuk menilai kemajuan dan kesembuhan secara klinik, lebar bukaan mulut diukur tiap hari. Trismus pada neonati tidak sejelas pada anak, karena kekakuan pada leher lebih kuat dan akan menarik mulut kebawah, sehingga mulut agak menganga. Keadaan ini menyebabkan mulut “mecucu” seperti mulut ikan tetapi terdapat kekakuan mulut sehingga bayi tak dapat menetek.
  2. Risus Sardonicus (Sardonic grin)
    Terjadi akibat kekakuan otot-otot mimic dahi mengkerut mata agak tertutup
    sudut mulut keluar dan kebawah manggambarkan wajah penuh ejekan sambil menahan kesakitan atau emosi yang dalam.
  3. Opisthotonus
    Kekakuan otot-otot yang menunjang tubuh : otot punggung, otot leher, trunk muscle dan sebagainya. Kekakuan yang sangat berat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur, bertumpu pada tumit dan belakang kepala. Secara klinik dapat dikenali dengan mudahnya tangan pemeriksa masuk pada lengkungan busur tersebut.
    Pada era sebelum diazepam, sering terjadi komplikasi compression fracture pada tulang vertebra.
  4. Otot dinding perut kaku, sehingga dinding perut seperti papan. Selain otot didnding perut, otot penyangga rongga dada juga kaku, sehingga penderita merasakan keterbatasan untuk bernafas atau batuk. Setelah hari kelima perlu diwaspadai timbulnya perdarahan paru (pada neonatus) atau bronchopneumonia.
  5. Bila kekakuan makin berat, akan timbul kejang-kejang umum, mula-mula hanya terjadi setelah penderita menerima rangsangan misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, terpapar sinar yang kuat dan sebagainya, lambat laun “masa istirahat” kejang makin pendek sehingga anak jatuh dalam status convulsivus.
  6. Pada tetanus yang berat akan terjadi :
    Gangguan pernafasan akibat kejang yang terus-menerus atau oleh karena spasme otot larynx yang bila berat menimbulkan anoxia dan kematian.
    Pengaruh toksin pada saraf otonom akan menyebabkan gangguan sirkulasi (akibat gangguan irama jantung misalnya block, bradycardi, tachycardia, atau kelainan pembuluh darah/hipertensi), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi (hiperpireksia) atau berkeringat banyak hiperhidrosis).
    Kekakuan otot sphincter dan otot polos lain seringkali menimbulkan retentio alvi atau retention urinae.
    Patah tulang panjang (tulang paha) dan fraktur kompresi tulang belakang.

E. DIAGNOSIS, DIAGNOSA BANDING DAN KOMPLIKASI
  1. Diagnosa
    Pemeriksaan laboratorium : Liquor Cerebri normal, hitung leukosit normal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan kadar elektrolit darah terutama kalsium dan magnesium, analisa gas darah dan gula darah sewaktu penting untuk dilakukan.
    Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen thorax setelah hari ke-5.
  2. Diagnosa Banding
    Meningitis
    Meningoenchepalitis
    Enchepalitis
    Tetani karena hipocalsemia atau hipomagnesemia
    Trismus karena process lokal
  3. Komplikasi
    Bronkhopneumonia
    Asfiksia
    Sepsis Neonatorum


F. FAKTOR RESIKO DAN PENCEGAHAN
  1. Faktor resiko
    Tetanus neonatorum terjadi pada masa perinatal, antara umur 0 sampai 28 hari, terutama pada saat luka puntung tali pusat belum kering, sehingga spora C. tetani dapat mencemari dan berbiak menjadi kuman vegetatif.
    Menurut Foster, (1983) serta Sub Dinas PPM Propinsi Jawa Timur, (1989) terdapat 5 faktor resiko pokok tetanus neonatorum yaitu : (a) faktor resiko pencemaran lingkungan fisik dan biologik, (b) faktor cara pemotongan tali pusat, (c) faktor cara perawatan tali pusat, (d) faktor kebersihan pelayanan persalinan dan (e) faktor kekebalan ibu hamil.

    • Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologik
      Merupakan faktor yang menentukan kepadatan kuman dan tingginya tingkat pencemaran spora di lingkungannya. Risiko akan hilang bila lahan pertanian dan peternakan diubah penggunaannya.
    • Faktor Cara Pemotongan Tali Pusat
      Penggunaan sembilu, pisau cukur atau silet untuk memotong tali pusat tergantung pada pengertian masyarakat akan sterilitas. Setelah dipotong, tali pusat dapat disimpul erat-erat atau diikat dengan benang. Penolong persalinan biasanya lebih memusatkan perhatian pada ”kelahiran” plasenta dan perdarahan ibu.
    • Faktor Cara Perawatan Tali Pusat
      Tata cara perawatan perinatal sangat berkaitan erat dengan hasil interaksi antara tingkat pengetahuan, budaya, ekonomi masyarakat dan adanya pelayanan kesehatan di lingkungan sekitarnya. Masyarakat di banyak daerah masih menggunakan daun-daun, ramuan, serbuk abu dan kopi untuk pengobatan luika puntung tali pusat. Kebiasaan ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan pendidikan dukun bayi saja.
    • Faktor Kebersihan Pelayanan Persalinan
      Merupakan interaksi antara kondisi setempat dengan tersedianya pelayanan kesehatan yang baik di daerah tersebut yang menentukan subyek penolong persalinan dan kebersihan persalinan. Untuk daerah terpencil yang belum terjangkau oleh pelayanan persalinan yang higienis maupun daerah perkotaan yang biaya persalinannya tak terjangkau oleh masarakat, peranan dukun bayi (terlatih atau tidak) maupun penolong lain sangatlah besar. Pelatihan dukun bayi dapat menurunkan kematian perinatal namun tidak berpengaruh pada kejadian tetanus neonatorum.
      Masih banyak ibu yang tidak memeriksakan kehamilannya (25 sampai 60%) dan lebih banyak lagi yang persalinannya tidak ditolong oleh tenaga medis (70%) sehingga resiko tetanus neonatorum bagi bayi lahir di Indonesia besar.
    • Faktor Kekebalan Ibu Hamil
      Merupakan faktor yang sangat penting. Antibodi antitetanus dalam darah ibu hamil yang dapat disalurkan pada bayinya dapat mencegah manifestasi klinik infeksi dengan kuman C. tetani (Suri, dkk,1964). Suntikan tetanus toksoid 1 kalipun dapat mengurangi kematian tetanus neonatorum dari 70-78 per 1000 kelahiran hidup menjadi 40 per 1000 kelahiran hidup (Newell, 1966, Black, 1980, Rahman, 1982).
  2. Pencegahan
    Tindakan pencegahan bahkan eliminasi terutama bersandar pada tindakan menurunkan atau menghilangkan factor-faktor resiko. Meskipun banyak faktor resiko yang telah dikenali dan diketahui cara kerjanya, namun tidak semua dapat dihilangkan, misalnya lingkungan fisik dan biologik. Menekan kejadian tetanus neonatorum dengan mengubah lingkungan fisik dan biologik tidaklah mudah karena manusia memerlukan daerah pertanian dan peternakan untuk produksi pangan mereka.
    Pendekatan pengendalian lingkungan dapat dilakukan dengan mengupayakan kebersihan lingkungan yang maksimal agar tidak terjadi pencemaran spora pada proses persalinan, pemotongan dan perawatan tali pusat. Mengingat sebagian besar persalinan masih ditolong oleh dukun, maka praktek 3 bersih, yaitu bersih tangan, alat pemotong tali pusat dan alas tempat tidur ibu (Dep. Kesehatan, 1992), serta perawatan tali pusat yang benar sangat penting dalam kurikulum pendidikan dukun bayi. Bilamana attack rate tak dapat diturunkan dan penurunan faktor risiko persalinan serta perawatan tali pusat memerlukan waktu yang lama, maka imunisasi ibu hamil merupakan salah satu jalan pintas yang memungkinkan untuk ditempuh.
    Pemberian tokoid tetanus kepada ibu hamil 3 kali berturut-turut pada trimester ketiga dikatakan sangat bermanfaat untuk mencegah tetanus neonatorum. Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril dan perawatan tali pusat selanjutnya.


G. TATA LAKSANA
  • Medik
    Empat pokok dasar tata laksana medik : debridement, pemberian antibiotik, menghentikan kejang, serta imunisasi pasif dan aktif, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

    1. Diberikan cairan intravena dengan larutan glukosa 5% dan NaCl fisiologis dalam perbandingan 4 : 1 selama 48-72 jam selanjutnya IVFD hanya untuk memasukan obat. Jika pasien telah dirawat lebih dari 24 jam atau pasien sering kejang atau apnea, diberikan larutan glukosa 10% dan natrium bikarbonat 1,5% dalam perbandingan 4 : 1 (jika fasilitas ada lebih baik periksa analisa gas darah dahulu). Bila setelah 72 jam bayi belum mungkin diberi minum peroral/sonde, melalui infus diberikan tambahan protein dan kalium.
    2. Diazepam dosis awal 2,5 mg intravena perlahan-lahan selama 2-3 menit, kemudian diberikan dosis rumat 8-10 mg/kgBB/hari melalui IVFD (diazepam dimasukan ke dalam cairan infus dan diganti setiap 6 jam). Bila kejang masih sering timbul, boleh ditambah diazepam lagi 2,5 mg secara intravena perlahan-lahan dan dalam 24 jam berikutnya boleh diberikan tembahan diazepam 5 mg/kgBB/hari sehingga dosis diazepam keseluruhannya menjadi 15 mg/kgBB/hari. Setelah keadaan klinis membaik, diazepam diberikan peroral dan diurunkan secara bertahap. Pada pasien dengan hiperbilirubinemia berat atau bila makin berat, diazepam diberikan per oral dan setelah bilirubin turun boleh diberikan secara intravena.
    3. ATS 10.000 U/hari, diberikan selama 2 hari berturut-turut dengan IM. Perinfus diberikan 20.000 U sekaligus.
    4. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis, intravena selama 10 hari. Bila pasien menjadi sepsis pengobatan seperti pasien lainnya. Bila pungsi lumbal tidak dapat dilakukan pengobatan seperti yang diberikan pada pasien meningitis bakterialis.
    5. Tali pusat dibersihkan/kompres dengan alcohol 70%/Betadine 10%.
    6. Perhatikan jalan napas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering dihisap.
  • Keperawatan
    Perawatan intensif terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas, mempertahankan oksignasi yang adekuat, dan mencegah hipotermi. Perawatan puntung tali pusat sangat penting untuk membuang jaringan yang telah tercemar spora dan mengubah keadaan anaerob jaringan yang rusak, agar oksigenasi bertambah dan pertumbuhan bentuk vegetatif maupun spora dapat dihambat. setelah puntung tali pusat dibersihkan dengan perhydrol, dibutuhkan povidon 10% dan dirawat secara terbuka. Perawatan puntung tali pusat dilakukan minimal 3 kali sehari.




ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TETANUS NEONATORUM
  1. Pengkajian

    1. Identitas
    2. Riwayat Keperawatan : antenatal, intranatal, postnatal.
    3. Pemeriksaan Fisik

      • Keadaan Umum : Lemah, sulit menelan, kejang
      • Kepala : Poisi menengadah, kaku kuduk, dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut keluar dan kebawah.
      • Mulut : Kekakuan mulut, mengatupnya rahang, seperti mulut ikan.
      • Dada : Simetris, kekakuan otot penyangga rongga dada, otot punggung.
      • Abdomen : Dinding perut seperti papan.
      • Kulit : Turgor kurang, pucat, kebiruan.
      • Ekstremitas : Flexi pada tangan, ekstensi pada tungkai, hipertoni sehingga bayi dapat diangkat bagai sepotong kayu.
    4. Pemeriksaan Persistem

      • Respirasi : Frekuensi nafas, penggunaan otot aksesori, bunyi nafas, batuk-pikel.
      • Kardiovaskuler : Frekuensi, kualitas dan irama denyut jantung, pengisian kapiler, sirkulasi, berkeringat, hiperpirexia.
      • Neurologi : Tingkat kesadaran, reflek pupil, kejang karena rangsangan.
      • Gastrointestinal : Bising usus, pola defekasi, distensi
      • Perkemihan : Produksi urine
      • Muskuloskeletal : Tonus otot, pergerakan, kekakuan.
  2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
    1. Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
    2. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.
  3. Intervensi
    Ketidakefektifan pola nafas b.d kelelahan otot-otot respirasi
    Intervensi :

    • Kaji frekuensi dan pola nafas
    • Perhatikan adanya apnea dan perubahan frekuensi jantung, tonus otot dan warna kulit.
    • Lakukan pemantauan jantung dan pernafasam secara kontinue.
    • Hisap jalan nafas sesuai kebutuhan.
    • Beri rangsang taktil segera setelah apnea.
    • Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
    • Beri O2 sesuai indikasi.
    • Beri obat-obatan sesuai indikasi.

    Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d refleks menghisap pada bayi tidak adekuat.
    Intervensi :


    • Kaji maturitas refleks berkenaan dengan pemberian makan, menghisap, menelan dan batuk.
    • Auskultasi bising usus.
    • Kaji tanda-tanda hipoglikemia.
    • Beri suplemen elektrolit sesuai medikasi.
    • Beri nutrisi parenteral.
    • Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.
    • Lakukan pemberian minum sesuai toleransi.





    semoga bermanfaat......!!!!!!!!!!!!!!
    kumpilan askep klik disini